Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), telah memutuskan untuk mengganti sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dengan Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) yang akan diberlakukan mulai tahun 2025. Langkah ini diambil untuk menyelesaikan masalah yang muncul selama pelaksanaan PPDB serta untuk menyediakan layanan pendidikan yang lebih merata dan berkualitas bagi seluruh siswa di Indonesia.
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti menjelaskan bahwa perubahan ini tidak hanya sebatas pergantian nama, tetapi juga untuk memperbaiki mekanisme penerimaan siswa baru, sehingga lebih adil dan transparan. Salah satu perubahan penting adalah penyesuaian persentase penerimaan siswa di tingkat SMP, yang lebih mengedepankan sistem yang lebih seimbang dan adil.
Untuk jenjang SMA, SPMB akan diberlakukan lintas kabupaten/kota, dan pengelolaan akan berada di tingkat provinsi. Di sisi lain, penerimaan siswa SD tidak mengalami perubahan besar. Perubahan ini hasil dari kajian mendalam terhadap pelaksanaan PPDB sejak 2017, dan melibatkan berbagai pihak, termasuk Kementerian Dalam Negeri untuk koordinasi dengan pemerintah daerah.
SPMB ini bertujuan untuk mengatasi masalah seperti ketimpangan daya tampung sekolah negeri, praktik jual beli kursi, dan kurangnya akses bagi siswa berprestasi yang tidak tinggal dalam zona tertentu. Dalam sistem ini, empat jalur utama penerimaan murid akan dipertahankan: jalur domisili, afirmasi, prestasi, dan mutasi.
Pada jenjang SD, kuota jalur domisili minimal 70 persen, jalur afirmasi 15 persen, dan jalur mutasi maksimal 5 persen, tanpa jalur prestasi. Di SMP, kuota jalur domisili dikurangi menjadi minimal 40 persen, jalur afirmasi ditingkatkan menjadi 20 persen, dan jalur prestasi minimal 25 persen. Untuk SMA, kuota jalur domisili berkurang menjadi 30 persen, jalur afirmasi meningkat menjadi 30 persen, dan jalur prestasi juga menjadi minimal 30 persen.
Keunggulan sistem SPMB ini juga melibatkan peran sekolah swasta dalam proses penerimaan murid. Hal ini bertujuan agar anak-anak yang tidak mendapatkan tempat di sekolah negeri tetap bisa mengakses pendidikan berkualitas. Dengan transparansi yang ditingkatkan, masyarakat bisa mengetahui daya tampung serta peringkat akreditasi sekolah negeri dan swasta.
Reformasi ini juga mendapat dukungan dari Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), yang menilai bahwa keterlibatan sekolah swasta akan membantu mengurangi praktik “jual beli kursi” dan memberikan akses pendidikan lebih luas di daerah yang kekurangan sekolah negeri. Namun, tantangan terbesar adalah kesiapan pemerintah daerah dalam menjalankan sistem baru ini dan pentingnya sosialisasi agar masyarakat memahami perubahan ini.
Dengan sistem baru yang lebih fleksibel dan melibatkan berbagai institusi pendidikan, diharapkan pendidikan di Indonesia bisa lebih adil, transparan, dan mampu memenuhi kebutuhan seluruh masyarakat.